CINTA
(PERNAH) DI ANTARA KITA
(Desy Vica Sianturi)
(Desy Vica Sianturi)
2016. Segudang memori
teristimewa yang berkumpul menjadi satu, adalah di masamu. Semua hal yang
terlewati begitu kompleks untukku di sepanjang tahun. Dari mimpi sederhana yang
terwujud hingga kisah rumit yang masih saja membayangiku sampai detik ini. Penghujung
tahun yang menanti diujung kalender, ia terlalu cepat datang, kadang ku pikir
mungkinkah ia ingin mendukungku melupakan semua hal, mengenai sisa tahun ini,
terlebih mengenai kisah rumit tadi. Atau andaikan saja itu salah, masihkah
boleh aku berharap ia datang sebagai alarm pengingat untuk langkah yang
harusnya ku ambil, untuk tidak larut berdiam dan membiarkan semua hal berlalu
begitu saja. Untuk harapan yang masih boleh di harapkan dapat terjadi. Ntahlah,
hanya yang ku tahu, ia akan berlalu meninggalkanku.
***
Februari
di tahun ini. Masih jelas dalam ingatanku, awal mula perkenalan antara aku dan kau.
Kau, sebongkah jiwa ambigu yang bahkan tak mampu ku utarakan. Bukan mengenai sebuah
pertemuan biasa, ini jauh berbeda. Sebuah aplikasi media sosial yang
bertanggung jawab atas perkenalan yang menjerat kedua hati kita.
Hari itu. Sebuah pesan masuk pada
notifikasi akun sosialku. Aku yang kebetulan sedang online pun membuka pesan itu. Isinya berupa pesan suara yang
terdengar berbisik, sehingga aku harus mendekatkannya persis di telingaku.
“dorrrr……,”
Siapa sangka isinya
cukup membuatku terperangah untuk beberapa saat itu. Tindakan konyol yang pada
akhirnya membuatku tertawa tanpa sebab alasan yang jelas. Namun cukup ampuh
menarik perhatianku, berlanjut hingga stalking akunmu dan mendapati sebuah foto
seorang pria dengan sebuah motor – motoran diboncengannya yang dipasang sebagai
foto profil disana, itu pasti kau, yakinku. Lucu. Aku pun membalas pesanmu. Ah,
itu adalah cara perkenalan terkonyol yang pernah ku temui.
Waktu bergulir, dari
Line hingga Bbm, komunikasi yang terjadi nyatanya membuat kita semakin akrab.
Dari yang awalnya menutup diri, hingga rasanya sehari tak ingin terlewati
mendengar cerita - ceritamu. Dan ini bukan hal mengenai ketertarikan lagi, tapi
lebih dari itu, aku menyukaimu.
Ternyata hati ku tidak
sendiri. Kau pun merasakan kenyamanan yang sama. Berulang kali aku
mempertimbangkan permintaanmu untuk sebuah hubungan yang pasti. Namun, jarak dan
waktu yang menjadi ruang diantara kita, beberapa kali menghadang pemikiranku. Selain
daripada itu, sebuah pertanyaan mengenaimu disana tak urung menambah kecemasan
pula dihatiku.
Sampai kau kembali
memintaku, aku ragu, dan ku rasa itu adalah kesempatan yang mungkin takkan terjadi
lagi dan ntah mengapa aku begitu percaya, ada perasaan tak mau menyesal
kemudian hari nanti. Ku putuskan menerimamu, juga jarak dengan ruang dan waktu
diantara kita. Jakarta – Medan, tak apalah bisa ku tahan, pikirku.
23 maret masih di tahun
ini pula. Aku dan kau memulai cerita yang menjadi kita. Banyak hal yang ku
dapati darimu. Dirimu bagai semua yang aku dambakan, semua ketidakbiasaan yang
sering aku ‘andaikan’ bisa aku temukan. Dan karenamu aku percaya hal itu benar
nyata. Sering kau bercerita mengenai imajinasi yang selama ini kau rangkai
sendiri. Gambar – gambaran gila, dari dinding kamar yang kau lukis sendiri, ada
kisah mengenai dinosaurus sampai taman mushroom
disana. Bila kau sedang berpergian, kau minta aku menemani perjalanan, seakan
kita sedang melaluinya bersama. Kita
juga memiliki kesamaan, mengenai pilihan yang tak terselesaikan, tentang study perhotelan, yang kita tinggalkan.
Caramu mengisahkannya bahkan jauh lebih dramatis daripada ku mengenai
pengalaman itu.
Dan ku tahu kini kau
adalah seorang musisi. Pilihan yang sungguh ingin kau geluti. Pernah karena
rasa penasaran, membuatku mencari kebenaran, mengenai bandmu yang bermain di ftv. Ku temukan, sebuah senyum kebanggaan
beriringan dengan rasa rendah diri menyelimuti hatiku saat melihat tayangan ulangannya
itu di youtube. Ternyata itu benar kau.
Sering kali sesuatu yang aneh mulai
muncul disanubari ku, terlebih ketika aku mengetahui tidak hanya ruang jarak
yang memisahkan kita, tetapi ruang sosial nyatanya juga berada disana. Memang,
tak pernah sekalipun kau memegahkan diri, bahkan mengumbar sendiri. Akulah. Aku
yang begitu menilai semua begitu cepat. Dari video call diantara kita, atau
video yang kau kirim, seisinya jadi perhatianku. Namun katamu, semua inginmu
juga tidak terlepas dari usaha, saat mungkin kau menyadari rasa ketidak –
pantasanku terhadapmu, kau menyakinkanku. Ketika memutuskan mengambil sebuah
pekerjaan tambahan bermodal motor dengan sebuah aplikasi pendukung yang tengah
marak saat itu, tak luput kau beritahukan padaku. Hingga sebaliknya, justru kau
yang takut bila saja aku merasa malu dengan caramu.
Berulang
kali kau juga menanyakan siapa saja yang mendekatiku, sampai meminta ku meng-capture daftar obrolan pribadi akun
sosialku. Semua ku katakan sejujurnya. Meski harus membuatmu kesal, tapi aku
tak mau membangun sebuah kebohongan diantara kita. Caramu yang semakin
membatasi gerakku sedikit membuatku gerah. Seperti kau tak percaya padaku
ataukah mungkin karena kau takut kehilanganku, seperti ujarmu selalu “Jangan
permainkan aku. Jangan berpaling dariku.” “aku udah ngerasa nyaman sama kamu.”.
April.
Mei. Semakin aku mengenalmu melalui percakapan yang sering kita lewati dari
dini hari sampai fajar datang memperingati. Di hari terang bahkan hingga malam.
Kapan saja saat mampu. Tak ku perdulikan waktu bahkan tubuh sendiri. Aku lebih
memilih hanyut bersama imajinasi – imajinasi liarmu. Mendengar, kadang
menggubris, kadang justru membuatnya semakin bebas hingga kau dan aku
menambahkan bumbu ‘keajaiban’ didalamnya. Lalu tanpa memberikan akhir cerita
kita membahas yang lain lagi. Begitu banyak, yah terlalu banyak hingga sulit
aku mencari bagian terindah. Namun, bagian mengenai ibumu, keluargamu, atau 2
keponakanmu saja, sejujurnya itu bagian favoritku. Lainnya, hal yang
menggangguku bila pembahasan mengenai keinginanmu mengunjungi kotaku,
mengunjungi aku, sekedar bertemu saja pintamu, itu hal yang berulang kau ajukan
hingga membuatku bosan berdalih. Aku tak siap mengiyakanmu. Meski aku ingin.
“Bodat!” panggilku padamu.
Setiap kali gurauanmu tak masuk nalarku. Ku sebut kau begitu, seperti ujaran
biasa orang – orang Medan. Sengaja agar kau ingat asalku. Ku sangka kau tak
akan paham, karena latar belakang mu dari keturanan jawa tapi ternyata kau
justru memanggilku “Bagudung” saat ku tanya, “Teman – temanku kan banyak orang
batak,” katamu. Maka itulah salah satu pengingat diantara kita.
***
Masih
di bulan Mei. Saat ku beritahu kau mengenai rencana besarku. Mengenai ujian
perguruan tinggi negeri yang ingin ku ikuti, peluang akhir yang ku punya
tinggal di tahun ini. Mungkin kau tak begitu paham lagi, mengingat usia
diantara kita terpaut 3 tahun. Tapi syukurlah kau cukup mengerti, bahkan
memberi ruang lebih agar leluasa aku belajar kembali, dan mengabarimu kapanpun
ku mau.
Tepat di akhir bulan, ujian tertulis itu
berlangsung. Benar saja waktu kurang dari 2 bulan saat ku mulai membuka buku
pembelajaran kemarin, setelah 2 tahun masa kelulusanku dari SMA, membuatku agak
kesulitan mengikuti bentuk ujian dengan desain berbeda dari tahun sebelumnya.
Kefokusanku terhadap bagian tertentu membuatku banyak kehilangan waktu.
Alhasil, hanya setengah dari soal yang disuguhkan kepadaku yang mampu
terselesaikan. Itupun, tentu saja beberapa soal yang menjebak membuatku tidak
yakin dengan jawabanku, ditambah jika salah berlaku pemotongan nilai. Aku
pasrah.
Beberapa
waktu dari awal rencana sampai ujian terlaksana. Aku hanya mengandalkan doa
saja, juga puasa dengan keyakinan hanya pada-Nya. Apalagi mengingat kemampuanku
dalam ujian, maka aku hanya mengandalkan iman, bila mengukur kacamata manusia
tentu aku jelas sudah berputus asa.
***
Bulan
Juni. Kita masih bersama, hingga beberapa hari kedepan kau berulah. Sebuah lagu
“Jenuh” yang tak asing ku dengar keluar dari mulutmu, mungkin aku yang terlalu
lama membiarkanmu, kemudian kita berbicara, begitu serius hingga ku rasa sampai
dasar batinku. Ku putuskan memberimu kebebasan.
Beberapa
hari setelah tanggal pengumuman teleponmu datang. Hal pertama yang ingin kau
tahu, mengenai ujianku. Bukannya mencemaskan diriku, padahal jika saja kau
bertanya akan ku beritahu betapa rinduku padamu. Tapi ya sudahlah. Setidaknya
aku sangat bersyukur Tuhan mengijinkan aku menyampaikan jawaban terbaik
untukmu. “Aku lulus, yo”. Ada sedikit perasaan berbangga, yang sebelumnya,
cukup menekan perasaanku juga mengenai dirimu bila saja aku tak lulus ujian
itu. Namun, syukurlah. Tuhan benar ada bagi yang berseru kepadanya. Universitas
Negeri Medan akhirnya menjadi langkah awal ku mulai kembali menata masa depan.
Dan yah, seperti biasa kau memang tak bisa di tebak. “hmm”. “gitu doang?,”
ketusku. “iya, selamat yah ayangku...”. Perasaan puas menggerogoti hatiku,
setelah mendengar ucapanmu itu, juga kata – kata cintamu, lebih dari segala hal
yang ku mau.
Kau
kirimkan juga sebuah lagu sederhana. Ciptaanmu,katamu. Jelek. Lalu kataku
menggodamu. Kau bilang lagu itu untukku, hasil liburan ke jogja, selama
menghilang. Sebuah lagu yang indah, dengan sepenuh jiwa disetiap liriknya
begitu kurasakan. Maknanya, seperti semua hal yang tak berani kau nyatakan. Sungguh,
aku makin mencintaimu.
***
Agustus. Di awal bulan.
Ntah apa yang ku pikirkan saat itu, ketika kau bertelepon disore itu, ku katakan
aku berjalan dengan seorang teman pria. Begitu polosnya, aku membantah
pikiranmu. Padahal kau begitu marah. Ku biarkan temanku itu, berbicara
kepadamu, ntah apa menjadi pembahasan diantara kalian, sampai ku dengar kata –
katanya menyakitimu. Aku terkejut juga marah padanya. Ketika telepon kembali
padaku, kau tak mau mendengarkanku lagi. Mulai saat itu. Waktu awan kelabu dan
hujan deras menguyur sore itu. Kau tak lagi menghubungiku. Bahkan untuk pertama
kali kau mengacuhkan telepon hingga smsku.
Tak ku dengar lagi
suaramu setelah hari itu. Aku menghubungimu. Dan memberi waktu berharap kau
kembali. Namun semakin kesini, bahkan aku tak mampu mengatur hati juga
pikiranku sendiri. Mengapa semakin kemari, kau justru semakin menghantui.
Bahkan sampai datang ke mimpi. Setiap hari aku mencarimu diberanda media
sosialmu, sampai stalking pun aku tak peduli. Kita masih berkaitan disana, bila
marah bila tak ada cinta, mengapa tak kau blokir akunku saja. Aku tak paham
maksudmu. Karena kita seperti tak pernah saling mengenal, padahal dulu ada
sebuah rasa diantaranya. Bukankah ini begitu kejam? Dulu, selalu saja ada
caramu yang menghibur duka dari sebuah rasa di kedua hati kita. Katamu, kalau
saja aku merasakan rasa sakit kerena batasan diantara kita. Itu cinta, seperti
yang kau rasa. Andai boleh ku katakan, lagumu, yang berjudul “Kasih”, yang kau ciptakan buat ku itu,
saat beberapa waktu ada ruang yang membebaskan kita, saat membuang sebuah
kejenuhan yang kau sebut “Flat” sebelum
akhirnya kau kembali lagi. Itu masih ada, bersama lagu lainnya, masih ku
simpan, bahkan jadi dering panggilan handphone
ku.Video hingga foto semua juga
tak ikut beranjak dari galeri memori hpku. Semua masih sama seperti sediakala.
Tidakkah itu merubah hatimu?
Lucu memang rasanya.
Bagaimana bisa aku mendeskripsikan bahwa kehilangan itu makna dari sebuah
cinta. Bisa saja, mungkin aku hanya kehilangan sosok yang biasanya menyibukkan handphoneku. Namun, aku belajar sebuah
cinta bukan bicara soal pertemuan mata saja, melainkan bicara mengenai maknanya
dan kata percaya.
Maka aku percaya, cinta
sejati paham kapan ia harus kembali. Mungkin tidak hari ini, mungkin juga tidak
di tahun ini. Namun aku masih berharap dia adalah dirimu. Bila Tuhan
mengijinkan kita akan bertemu disuatu hari, kuharap kita berdua berada di masa
yang siap. Atau jika Tuhan berkata lain, ku harap Dia benar menghapus rasa
cintaku kepadamu. Biar cukup sampai tahun ini saja. Aku tak mau rasa sakit yang
membuatku menjadi gila karena cintaku padamu. Rio. Tunggulah sebentar, dan kita
lihat apa mauNya
PROFIL PENULIS
Lahir
di MEDAN, 7 DESEMBER 1996 dengan nama DESY DEBORA VICTORIA. Saya mulai mengembangkan bakat menulis sejak duduk
di bangku kelas 1 SMA.
Dan menghasilkan
karya-karya yang sampai kehati para pembaca adalah Tujuan saya menjadi penulis.
Membaca, Menulis, hal yang harus terus saya jalani untuk menghasilkan ide-ide
selanjutnya. Terima kasih
Post A Comment:
0 comments: